Jumat, 18 Oktober 2019

Manajemen Pemasaran Era Rev. Industri

perusahaan yang masuk ke pasar suatu negara, tapi gagal karena kurang mengenal kondisi lokal
(BURGER KING)
Dosen Pengajar : Joko Utomo













Nama   : Yolanda Safitri
NPM   : 17216797
Kelas  : 3EA31









Manajemen Pemasaran Era Rev. Industri
Universitas Gunadarma
2019

Manajemen Pemasaran Global

Globalisasi menjadi sebuah tantangan bagi semua perusahaan yang ingin masuk ke pasar global. Karena dengan adanya globalisasi, perusahaan dituntut untuk menerapkan strategi pemasaran global sehingga akan berdampak pada keunggulan bersaing di pasar lokal, yaitu pasar tempat produk perusahaan dipasarkan. Namun demikian, setiap negara memiliki karakteristik yang beragam sehingga perusahaan harus pula mengamati permintaan pasar lokal terhadap produk yang dijual. Dengan adanya permintaan yang memiliki karakteristik berbeda, maka penerapan strategi pemasaran global yang sesuai dengan kondisi pasar diperlukan. Pendekatan strategi ini dikenal dengan adaptation marketing strategy. Berbeda dengan konsep sebelumnya, beberapa pakar memandang bahwa globalisasi telah mengubah perilaku pasar menjadi homogen, bahwa permintaan pasar cenderung sama. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Vrontiis dan Trassou (2007), para pendukung konsep strategi pemasaran global standardisasi percaya bahwa konsumen di dunia ini memiliki kebutuhan dan keinginan yang relatif sama. Sehingga penerapan strategi yang dikembangkan menggunakan pendekatan standard marketing strategy. Terkait dengan globalisasi tersebut, permasalahan yang muncul adalah banyak perusahaan Indonesia yang belum cukup mampu menghadapi persaingan di pasar global. Pada akhirnya, Indonesia hanya dijadikan target pasar bagi perusahaan-perusahaan asing. Sebagai salah satu contohnya adalah pasar otomotif, semua industri otomotif kelas dunia telah hadir di Indonesia dan menikmati keuntungan yang besar. Demikian halnya dengan pasar elektronik telah dikuasai perusahaan asal Jepang, Korea, dan Cina. Lalu bagaimana dengan perusahaan Indonesia? Apakah perusahaan Indonesia telah cukup mampu menghadapi masuknya perusahaan-perusahaan asing di pasar Indonesia? Bagaimana strategi pemasaran yang harus dilakukan agar produk yang dipasarkan sesuai dengan target pasar masyarakat Indonesia?
Konsep strategi pemasaran global standardisasi merupakan salah satu pendekatan yang mungkin dapat diterapkan bagi perusahan Indonesia guna meraih daya saing pemasaran di Indonesia. Hal ini telah terbukti bahwa sebagian besar perusahaan asing yang masuk ke Indonesia memasarkan produk-produk yang telah berstandar internasional. Paper ini bertujuan untuk melakukan kajian terhadap pendekatan strategi pemasaran global yang secara ilmiah dan dapat diaplikasikan secara praktis bagi perusahaan Indonesia dalam menghadapi globalisasi persaingan saat ini. Hasil dari penelitian ini akan memberikan hasil baik secara literatur dan praktis atas penerapan kedua pendekatan strategi pemasaran global tersebut. Sehingga diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi perusahaan Indonesia dalam memilih strategi pemasaran global sehinagga perusahaan Indonesia dapat unggul dalam persaingan globalisasi.



Globalisasi

Pengertian globalisasi seperti yang disampaikan oleh Larsson (2001) adalah sebuah proses penyusutan dunia, yang di dalamnya jarak semakin pendek dan hal-hal bergerak lebih dekat. Selain itu, globalisasi juga terkait dengan kemudahan yang semakin meningkat; bahwa seseorang di belahan dunia lain dapat berinteraksi saling menguntungkan, dengan seseorang di belahan lain dunia. Al-Rodhan (2006) mengungkapkan bahwa globalisasi bukanlah konsep tunggal yang dapat didefinisikan dan mencakup dalam jangka waktu yang ditetapkan, juga bukan sebuah proses yang dapat didefinisikan secara jelas dengan awal dan akhir. Selain itu, tidak dapat diuraikan di atas dengan pasti dan dapat diterapkan pada semua orang dan dalam segala situasi. Globalisasi melibatkan integrasi ekonomi, transfer kebijakan lintas batas, transmisi pengetahuan, stabilitas budaya, reproduksi, hubungan, dan wacana kekuasaan, yang merupakan sebuah proses global, sebuah konsep, sebuah revolusi, dan suatu usaha dari pasar global bebas dari kontrol sosial politik. Yucel, et.al. (2009) mengungkapkan bahwa globalisasi meliputi tujuah dimensi sebagai berikut: ekonomi, yaitu globalisasi yang terkait dengan perdagangan, uang, perusahaan, perbankan, dan permodalan; politik, yaitu globalisasi yang terkait dengan ilmu pengetahuan, pemerintahan, perang, perdamaian, IGOs (Intergovernmental organizations), LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), dan rezim; sosiologi, yaitu globalisasi yang meliputi komunitas masyarakat, konflik, sosial, dan keagamaan; psikologi, yaitu globalisasi yang terkait dengan individu sebagai subjek dan objek dari aksi global; antropologibudaya, yaitu globalisasi yang bertumpu pada perubahan kultur budaya lokal akibat perkembangan budaya global; komunikasi-informasi, yaitu globalisasi komunikasi dan informasi yang memudahkan dan mempercepat pengetahuan dan informasi dengan adanya perkembangan teknologi komunikasi dan telekomunikasi; dan geografi, yaitu globalisasi yang mengarah pada perluasan geografi wilayah. Berdasarkan kedua sumber tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa globalisasi merupakan sebuah proses perubahan yang melibatkan bidang politik, ekonomi, sosial-budaya, geografi, dan teknologi yang mampu mengintegrasikan keseluruhan belahan wilayah dunia sehingga memperpendek dan mempersingkat jarak dan waktu. Selain itu, menurut Ginting (2008) dengan mengutip pernyataan Sachs (1998) yang mempertanyakan empat hal pokok dalam mengungkap dan memecahkan misteri seputar globalisasi, yaitu: pertama, apakah globalisasi dapat mendongkrak perekonomian dunia secara lebih cepat, mengingat empat per lima penduduk dunia (sekitar 4,5 miliar orang) masih tinggal di negara-negara berkembang. Ataukah globalisasi justru akan meruntuhkan perekonomian dunia semakin terpuruk. Kedua, apakah globalisasi akan meningkatkan atau justru mengurangi stabilitas perekonomian mikro? Apakah keruntuhan tiba-tiba perekonomian pasar yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya seperti yang terjadi belakangan ini, yakni Meksiko pada 1994 dan di Asia pada 1997, merupakan indikasi retaknya proses globalisasi? Apakah perubahan ini masih dapat dikelola; atau dengan kata lain apakah benturan keras dalam mewujudkan kesejahtraan dunia masih dapat dihindari?
Ketiga, apakah globalisasi dapat meningkatkan pendapatan masyarakat dunia, sehingga kesenjangan antarnegara atau antarmasyarakat dunia dapat dikurangi? Bila mungkin, apakah pengurangan kesenjangan ini berimplikasi positif bagi pekerja yang kurang terampil di negara yang sudah maju? Atau justru hal ini menjadikan tarik menarik kekuatan pasar semakin meningkat. Keempat, ini yang paling relevan dengan perbincangan hari ini adalah bagaimanakah lembaga pemerintah di tingkat lokal, nasional, maupun internasional menyesuaikan diri terhadap perubahan besar tersebut




 Strategi Pemasaran Global

Seperti yang diungkapkan oleh Viswanathan dan Dickson (2006) bahwa strategi pemasaran global meliputi dua pendekatan yaitu strategi pemasaran standar dan strategi pemasaran yang disesuaikan dengan kondisi negara tempat bisnis perusahaan dipasarkan (Standardization and adaptation of marketing strategies). Strategi pemasaran dengan pendekatan standar lebih menekankan pada pasar global yang memiliki sifat pelanggan yang homogen (consumer homogeneity). Strategi ini menekankan perusahaan untuk dapat memasarkan produk dan layanan yang sama di seluruh dunia dengan menggunakan identik strategi dengan biaya yang lebih rendah dan margin yang lebih tinggi. Hal yang sama dikemukan oleh Levitt (1983) bahwa perusahaan multinasional yang memiliki pasar global akan lebih kompetitif bila mereka mampu menawarkan produk-produk global yang standar secara fungsional, dapat diandalkan, dan berbiaya rendah. Beberapa perusahaan yang lebih menekankan kepada preferensi konsumen akan dibingungkan oleh perilaku konsumen yang selalu berubah-ubah sehingga menjadi sulit dalam pengambilan keputusan. Perusahaan global akan mencapai sukses dalam jangka panjang jika ia mampu berkonsentrasi pada pasar yang konsumen inginkan daripada menggarap pasar yang konsumen pikirkan secara detail. Menurut Levitt (1983), perusahaan global merupakan perusahaan yang mampu menjual dengan biaya relatif rendah di seluruh dunia dengan satu kesatuan strategi. Menurut Vrontiis dan Trassou (2007), para pendukung konsep strategi pemasaran global standardisasi percaya bahwa konsumen di dunia ini memiliki kebutuhan dan keinginan yang relatif sama. Mereka juga percaya bahwa dunia ini berkembang menjadi semakin sama pada lingkungan wilayah dan perilaku pelanggannya, mereka tidak memperdulikan darimana konsumen berasal. Sehingga atas dasar hal itu, strategi pemsaran global yang berfokus kepada standardisasi akan menjanjikan penciptaan pasar tunggal dengan biaya yang lebih murah dan keseragaman permintaan pelanggan. Berbeda dengan strategi yang pertama, Viswanathan dan Dickson (2006) mengungkapkan bahwa pendekatan strategi yang kedua memiliki asumsi bahwa di setiap negara memiliki karaktetristik pasar yang berbeda-beda sehingga strategi pemasaran global yang dikembangkan harus disesuaikan dengan kondisi pasar di suatu negara yang menjadi target pemasaran. Pemilihan strategi ini didasarkan pada beberapa pengamat yang menekankan perbedaan-perbedaan yang jelas antara pasar berbagai negara, terutama untuk barang konsumsi dan berdebat demi menggunakan program internasional pemasaran dibedakan. Strategi ini dikenal dengan sebutan adaptation of marketing strategies. Zou dan Cavusgil (2002) menyampaikan tiga perspektif yang berbeda dalam strategi pemasaran global, yaitu standardisasi (standardization), konfigurasi-koordinasi (configurationcoordination), dan integrasi (integration). Dari tiga perspektif tersebut, perspektif konfigurasikoordinasi, dan perspektif integrasi terutama berfokus pada masalah daya saing. Menurut perspektif konfigurasi-koordinasi, koordinasi dan konfigurasi kegiatan rantai nilai secara global akan menciptakan keunggulan komparatif melalui peningkatan efisiensi. Menurut perspektif integrasi, integrasi bergerak kompetitif secara global akan menciptakan strategi efektif melalui memanfaatkan Strategi Pemasaran Global …… (Freddy Simbolon) 409 kompetitif. Jika penciptaan keunggulan kompetitif melalui peningkatan efisiensi dan efektivitas adalah tujuan dari strategi pemasaran global, akan mengikuti perpanjangan dari strategi pemasaran global perlu minimal fokus yang kuat pada isu keunggulan kompetitif. Berbeda dengan literatur yang disampaikan sebelumnya, Ginting (2008) menyampaikan strategi pemsaran global yang mengakar kepada konsep kepuasan pelanggan. Menurutnya, kepuasan adalah persepsi yang dirasakan seseorang terhadap suatu objek atau kegiatan. Kepuasan wisatawan adalah persepsi yang dirasakan. Sebagai contoh adalah pada kasus industri pariwisata: wisatawan dalam melaksanakan wisatanya dan setelah melakukan wisatanya. Kepuasan mengandung persepsi umum yang berkembang pada seorang wisatawan tentang sebuah produk wisata yang dibeli atau jasa wisata setelah pembeliannya. Pendekatan ini pada dasarnya sama dengan pendekatan adaptation of marketing strategies yang disampaikan oleh Viswanathan dan Dickson (2006), karena mempertimbangkan tingkat kepuasan yang dirasakan dan yang diharapkan oleh pelanggan di pasar lokal. Maulana (1999) mengungkapkan tentang lima alternatif strategi dalam pemasaran global yang dikemukakan oleh Keegan (1999) yang meliputi strategi perluasan langsung. Dalam strategi ini, perusahaan tidak melakukan sesuatu yang baru atau sama sekali tidak mengubah produk yang sudah dijualnya di pasar domestik, dan memasarkannya ke pasar asing dengan cara promosi yang juga sudah diterapkan di pasar domestik sebelumnya. Strategi ini akan cocok untuk produk-produk seperti kamera dan peralatan elektronika. Alternatif strategi kedua adalah adaptasi produk, yaitu strategi perusahaan melakukan perubahan pada produk sesuai pasar yang dituju. Promosi tidak banyak diubah, bahkan terkadang tidak diubah sama sekali










Contoh Kasus Pemasaran Global 

Burger King merupakan salah satu jenis restoran cepat saji yang menyajikan hamburger sebagai menu utamanya. Burger King didirikan pada tahun 1954 oleh James Mc Lamore dan David Edgerton dan berpusat di Miami-Dade Country, Florida. Sebelumnya Burger King adalah restoran ini adalah sebuah cabang dari restoran yang bernama Insta-Burger King yang didirikan oleh Kieth J.Kramer dan Matthew Burns.
Pada tahun 1955 Burger King telah beroperasi di 40 lokasi di seluruh Amerika. Tahun 1961 Burger King menjual lisensi franchisenya kepada pengusaha di Amerika Serikat dan pada saat itu juga nama restoran tersebut berubah menjadi Burger King Corporation.
Pada tahun 1963 Burger King mulai melakukan ekspansi ke luar Amerika dan membuka cabang restoran untuk pertama kalinya di San Juan, Puerto Rico. Namun, pembukaan gerai di Puerto Rico tidak mendapat tanggapan yang serius dari dunia internasional. Tanggapan ini justru muncul ketika dibuka cabang restotan Burger King di Kanada tahun 1969. Setelah pembukaan cabang di Kanada, restoran ini mulai diminati ke benua lainnya seperti, di Eropa dengan Madrid sebagai kota pertamanya pada tahun 1972, Asia Timur pada tahun 1982 dan termasuk Negara lain yaitu Jepang, Taiwan, Singapura, dan Korea Selatan serta Indonesia.

Merek Burger King lahir pada tahun 1950 an. Tahun pendirian ini sangat tepat karena pada tahun 1960 dianggap sebagai awal menguatnya industri fast food termasuk restaurant dan franchise. Gaya hidup Amerika juga berubah mengikuti pola hidup yang cepat ditandai dengan pengembangan pinggiran kota, mobil, dan televisi. Sehingga permintaan akan makanan cepat saji juga turut meningkat. Dan pada akhirnya industri makanan cepat saji mengalami peningkatan yang sangat pesat pada akhir tahun 1960 an dan awal 1970 an dan persaingan antar rumah makan brelangsung sangat sengit untuk memperebutkan pangsa pasar.

Burger King adalah salah satu jaringan restaurant terbesar di Amerika dan pada saat itu Burger King berada pada jalur yang tepat untuk menjadi produsen fast food yang sukses. Burger King mencoba mendorong pencitraan perusahaan dengan cara mengadakan program iklan dan pada akhir 1960 an, perusahaan mampu membeli slot iklan televisi. Produk unggulan Burger King yang sering ditonjolkan adalah Whopper dengan menggunakan slogan dan jingle “ The Bigger the burger, the better the burger.”

Namun walaupun Burger King memiliki ambisi yang besar untuk melakukan ekspansi, perusahaan tidak dapat melanjutkan ekspansi tanpa sokongan dana yang kuat. Untuk itu Burger King mengadakan merger dengan Pillsbury dengan harapan mendapat suntikan dana untuk melanjutkan pelebaran ekspansi. Namun setelah merger berhasil dilakukan, Pillbury tidak melanjutkan rencana ekspansi. Padahal saat itu McDonald’s melakukan usaha ekspansi dengan gencarnya.Sementara Burger King tidak banyak berubah banyak.

Tahun 1970, Burger King membuka 167 toko baru namun pada saat yang sama McDonald’s membuka 294 toko dan meluncurkan program pemasaran “You Deserve a Break Today.” Tahun berikutnya Burger King turun dengan membuka “hanya” 107 toko sementara McDonald’s membuka 384 toko baru. Dan pada akhirnya McDonald’s menjadi market leader dan Burger King terpaksa menjadi pemain kedua di industri.

Tahun-tahun selanjutnya terjadi perang pemasaran di industri ini di segala aspek pemasaran, mulai dari pengembangan produk, periklanan, komunikasi media, dan lain halnya. Kompetisi yang sengit antara Burger King, McDonald’s, dan Wendy’s ini disebut juga sebagai “Battle of the Burgers”. Burger King sempat memiliki kinerja baik yang tercermin dari naiknya market share dan penjualan dari 750.000 menjadi 1 juta dollar pada saat itu termasuk rating konsumen yang meningkat. Namun kemudian terhambat oleh gugatan McDonald’s dan Wendy’s pada iklan Burger King.

Sampat saat ini Burger King masih berusaha untuk mengambil alih tahta pemimpin pasar dalam industri fast food. Burger King kehilangan momentum pada saat industri fast food sedang pesat berkembang dan semua pemain dalam industri sedang giat-giatnya melakukan pelebaran bisnis secara geografis. Pelajaran yang dapat kita ambil dari kasus ini adalah agar lebih berhati-hati dalam memilih partner bisnis. Ketidakcocokan dalam memilih partner bisnis dapat mengganggu berjalannya bisnis. Untuk itu kesesuaian misi, cara pikir, dan strategi yang diambil dapat menentukan arah usaha ke depannya.




Pemasaran Global pada Burger King

Menerapkan Sauna 
Sauna di restoran cepat saji Burger King sukses di Finlandia. Konsep ini diganjar sebagai pemenang dalam kontes Foodservice Contest Winners 2016: Customisation, Technology, and New Experiences yang diselenggarakan Euromonitor pada awal bulan lalu. 
Pujian muncul saat Burger King mampu menerapkan unsur penting dalam marketing yakni cultural proximity alias pembauran budaya masyarakat Finlandia.
Bagi masyarakat Finlandia, sauna tak hanya berarti mandi keringat semata. Sauna adalah bagian dari budaya. Media Inggris, BBC mengambil kesimpulan bahwa bagi banyak orang Finlandia, sauna adalah ruang paling suci yang paling dekat hubungannya dengan kesejahteraan dan kesehatan mereka
Hampir 99 persen warga Finlandia melakukan sauna setidaknya seminggu sekali. Hari ini, di negara dengan 5,3 juta penduduk itu memiliki 3,3 juta sauna. Sauna-sauna itu bisa ditemukan di berbagai tempat mulai dari rumah, kantor, pabrik, stadion, hotel hingga kantor pemerintahan sekalipun. 
Ritual mandi dalam ruang berdinding kayu ini sudah dilakukan di Finlandia selama ribuan tahun. Banyak aktivitas yang dilakukan saat bersauna, mulai dari bersantai, bercumbu hingga negosiasi politik.
https://aurum.tirto.id/www/delivery/lg.php?bannerid=0&campaignid=0&zoneid=22&loc=https%3A%2F%2Ftirto.id%2Fjurus-sauna-ala-burger-king-9jB&referer=https%3A%2F%2Fwww.google.com%2F&cb=eaca8be606
Meski Finlandia kini dikenal sebagai negara penggila sauna, tetapi di Helshinki jumlah sauna publik begitu minim. Dulu, di kota itu lebih dari 100 sauna publik tersebar hampir di setiap sudut jalan. Namun, jumlahnya mulai menurun di tahun 1950-an ketika orang mulai membeli rumah mereka sendiri, lengkap dengan sauna pribadi. Data terbaru, di Helshinki saat ini hanya memiliki empat sauna publik. Burger King benar-benar peka dengan hal ini. Mereka sukses mengkombinasikan cultural proximity dan supply-demand jumlah spa yang berkurang di Helshinki.
Dalam hal pemasaran yang kreatif di Finlandia, Burger King memang juaranya. Burger King sebenarnya sempat masuk ke Finlandia tahun 1980, tetapi hanya bertahan sebentar. Setelah hampir dua dekade absen, mereka beroperasi kembali ke negeri seribu danau itu pada 2013 lalu. 

Selama dua tahun terakhir mereka berhasil jadi restoran waralaba terbesar dan mendepak McDonald’s yang sudah 28 tahun menguasai Finlandia. Selama beroperasi dalam kurun waktu lama itu, McDonald’s mengalami kerugian total mencapai €83 juta atau Rp1,2 triliun. Penurunan ini terjadi dalam lima tahun terakhir.
Secara logika penurunan McDonald's ini tak masuk akal sebab data Asosiasi Perhotelan Finlandia melansir tiap tahun pertumbuhan pasar restoran waralaba naik 2-3 persen. Situs lokal Taloussanomat menganalisa, penyebab Burger King berhasil menggeser McDonald’s disebabkan srategi penjualan mereka membuka gerai-gerai kecil di stasiun dan fasilitas publik, termasuk strategi sauna.
Keputusan Burger King yang membuka ruang sauna pada salah satu gerai di Helshinki adalah kemenangan telak atas McDonald’s dalam hal inovasi dan kreativitas. 





Adaptasi Budaya Lokal

Beberapa pekan sebelum Burger King Finlandia memopulerkan ruang sauna, perusahaan junk food multi-nasional lainnya, Kentucky Fried Chicken (KFC) di Hong Kong merilis cat kuku yang bisa dikonsumsi. 
Bekerja sama dengan ahli teknologi makanan McCormick, mereka berhasil menciptakan cat kuku dari bahan-bahan alami. Cat kuku ini tersedia dalam dua pilihan warna, merah-oranye dan nude cream serta dua rasa ayam goreng yang khas dengan KFC, yakni Original Recipe dan Hot & Spicy. 

“Konsumen bisa dengan mudah mengaplikasikan seperti cat kuku biasa hingga kering, dan tinggal jilat – lagi, lagi, dan lagi,” ucap John Koay, Creative Director agensi PR Ogilvy & Mathers. John menambahkan cat kuku ini dibuat untuk menyasar kaum muda yang merupakan konsumen mayoritas di Hong Kong.

Produk kosmetik dengan aroma makanan bukan hal baru di dunia ini. Beberapa bulan lalu, Pizza Hut di Kanada meluncurkan cologne beraroma pizza. Ada pula parfum dengan wangi daging babi yang dibuat restoran kecil di Afrika Selatan.

Tapi apa yang dilakukan dua merek milik Yum! Corporate di atas itu hanya sebatas gimmick belaka – gimmick yang tak akan bertahan lama. Easy come easy go. Burger King pun sebenarnya melakukan gimmick, tetapi berkaitan dengan kebutuhan primer pasar mereka. Seperti dijelaskan di awal, bagi rakyat Finladia, sauna adalah budaya nasional. 

Dalam konteks strategi penjualan yang menyasar kebutuhan dasar ini, KFC sudah melakukannya sejak lampau. KFC menginvansi Asia Timur dan Asia Tenggara dengan tambahan menu nasi. Semua sepakat bahwa makanan pokok masyarakat di dua wilayah ini adalah nasi. Tak lengkap rasanya jika sehari belum makan nasi.

KFC masuk ke Asia bagian timur sejak 1967, lewat Filipina. Kehadiran mereka di sana untuk menyasar warga dan tentara AS yang sedang getol-getolnya berperang dengan Vietnam. Dekade 70-an, KFC mulai tersebar di Malaysia, Jepang, Singapura, dan Indonesia. Dekade 80-an, ekspansi itu semakin diperluas ke Hong Kong, Korea Selatan, Cina, Taiwan, dan Thailand.

Berkat nasi, KFC sukses diterima oleh masyarakat. Di lain sisi, KFC mengadopsi menu-menu lokal lain untuk menyesuaikan dengan cita rasa setempat. Untuk poin ini, sang rival McDonald’s melakukan hal yang sama. Namun, inovasi yang mereka lakukan tak seekstrem KFC yang mau menyingkirkan ego untuk mempromosikan makanan-makanan barat di Asia.

Sebagai contoh, untuk mempromosikan Burger di Jepang, McDonald’s tetap bersikukuh identitas dan bentuk burger tak boleh diubah. Agar bisa tetap rasa lokal, daging sapi diganti menjadi daging ikan. Jadilah burger teriyaki. 

Contoh lain, ketimbang menghidangkan nasi seperti bentuk lazimnya, mereka lebih memilih membentuk nasi itu menyerupai roti burger. Jadilah burger nasi. Antropolog budaya Asia Timur asal Belanda, Manya Koetse menyebut fenomena ini sebagai Glocal – unsur global yang bercampur dengan lokal. . 

Pada kasus bisnis restoran, pendekatan budaya itu tak melulu dari menu seperti KFC saja. Tirulah Burger King yang mampu mengambil ide kreatif dari hal di luar remeh temeh makanan yakni budaya sauna. Di Indonesia, negeri dengan beragam budaya, tidaklah susah untuk menggali ide pemasaran kreatif itu


Pendapat Mengenai Pemasaran Global Burger King Menurut saya strategi yang dijalankan oleh perusahan Burger King sudah sangat baik yaitu melakukan ekspansi pasar dengan menambah gerai setiap tahunnya dan lebih baik jika perusahaan burger king melakukan pemasaran global bukan hanya dari segi pelayanannya yang mengikuti budaya lokal seperti sauna tersebut namun juga harus melakukan inovasi dari makanannya itu sendiri seperti rasa yang mengikuti budaya lokal contohnya seperti Mcd yang memiliki menu burger rasa rendang yang sesuai dengan budaya lokal dari negara tersebut sehingga masyarakat dinegara tersebut tertarik dan tidak asing dengan rasa yang ditawarkan oleh perusahaan cepat saji asal amerika ini. namun tetap harus sesuai dengan profil perusahaan burger king tersebut yaitu perusahaan makanan cepat saji yang mengunggulkan burger sebagai produk utama mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar